Opini

#Opini : Pemilu dan Pemilihan 2024, Konsolidasi Demokrasi di Indonesia, Siapkah?

Di tulis oleh:  Agam Barep Syaifulloh, S.H. (Staf Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Kota Tegal) Sejarah amandemen UUD 1945 telah dilaksanakan oleh MPR RI sebanyak empat kali pada kurun waktu tahun 1999-2002 berimplikasi terhadap perkembangan politik dan hukum ketatanegaraan di Indonesia yang berjalan menjadi sangat pesat. Berdasarkan amanat UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (2) menjelaskan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini merupakan suatu rumusan konstitusional yang dijadikan sebagai pondasi dalam bernegara bahwa sejatinya kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Perkembangan kerangka konstitusional dalam pembentukan norma hukum demokrasi ditandai dengan lahirnya Undang-Undang tentang Pemilu sebagai upaya masa transisi arah demokrasi menuju pada penguatan sistem konsolidasi sehingga rekam jejak dalam praktik masa kelam berdemokrasi yang cenderung transaksional koruptif, manipulatif, berbiaya tinggi dan mengukuhkan kekuasaan dapat diminimalisir dalam praktik ketatanegaran di Indonesia. Di dalam perkembangannya Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang meliputi tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan Pemilu tahun 2024 hingga Pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilu anggota DPR dan DPRD, harus disesuaikan dengan keputusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang ditetapkan pada 26 Februari 2020. Putusan ini menegaskan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, dan anggota DPD secara serentak tak bisa dipisahkan satu sama lain.  Menurut Dankwart Rustow, konsoldiasi demokrasi itu adalah habituasi (habituation) atau pembiasaan norma, prosedur, dan ekspektasi demokrasi yang terinternalisasi dalam aturan main (rules of the game) berpolitik (Diamond, 1999:65).   Pemerintah di dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024 pada Polhukhankam (Pembangunan Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan) Indonesia mengarahkan terwujudnya konsolidasi demokrasi di Indonesia.  H. Saan Mustopa, M.Si (Anggota DPR RI/Wakil Ketua Komisi II DPR RI), menyatakan beberapa point dalam Pemilu/Pemilihan serentak 2024 dan pemantapan konsolidasi demokrasi di Indonesia, seperti ada beberapa indikator ancaman nyata bagi konsolidasi demokrasi terkait Pemilu/Pemilihan serentak 2024 yaitu harus terbebas dari politik pasca kebenaran (post-truth politics) seperti hoaks, berita bohong, disinformasi, misinformasi, Politik identitas (identity politics) penggunaan wacana agama, etnisitas, dan kesukuan dalam kampanye yang membuat pemilih tidak tercerdaskan; Politik permusuhan (adversarial politics) atau politik demagogi: menyebar permusuhan lewat ujaran kebencian (hate speech), kampanye hitam (black campaign), politik uang/klientelisme vote buying (pembelian suara), pelibatan aparatur pemerintahan dalam mempengaruhi pilihan politik pemilih; Politik intimidasi: mengancam pemilih agar memilih kontestan elektoral tertentu. Seiring perkembangan zaman masyarakat mengharapkan adanya demokrasi yang terkonsolidasi dengan baik. Terdapat beberapa indikator dalam penerapanya seperti terwujudnya sistem ketatanegaraan yang semakin demokratis, adanya konsistensi sistem pengaturan penyelenggaraan pemilu, adanya penyelenggaraan pemilu yang adil dan berintegritas serta efektif dan efisien, terpenuhinya hak-hak konstitusional pemilih dan kontestan elektoral (partai/kandidat), peningkatan literasi kepemiluan & demokrasi pemilih, sehingga pemilih dapat berpartisipasi aktif dan rasional di semua tahapan pemilu/pemilihan, terlampauinya target nasional partisipasi pemilih (voter turnout) sebesar 77,5% di Pemilu Serentak dan Pemilihan Serentak Nasional 2024, rendahnya pelanggaran regulasi dan etika oleh penyelenggara dan peserta pemilu, tidak adanya pelanggaran pemilu/pemilihan oleh kontestan elektoral (partai politik/kandidat), terwujudnya keadilan pemilu (electoral justice) akibat penegakan hukum pemilu yang berintegritas, pers yang independen (tidak berpihak) dan mencerdaskan pemilih, masyarakat sipil (termasuk NGO/LSM) terlibat aktif dalam volunterisme elektoral seperti edukasi pemilih, pemantauan pemilu/pemilihan, kritik konstruktif atas praktek demokrasi elektoral, dll, serta tercipta dan terjaganya atmosfir atau suasana politik elektoral yang damai dan kondusif. Suksesnya pembangunan politik akan menjadi faktor penggerak suksesnya pembangunan lainnya seperti ekonomi, sosial, infrastruktur, dan lain sebagainya, dan dapat memahami partisipasi dalam Pemilu/Pemilihan merupakan aktualisasi nasionalisme. Suksesnya pemilu/pemilihan adalah suksesnya demokrasi Indonesia, serta memiliki komitmen untuk berkolaborasi atau bekerja sama mensukseskan penyelenggaraan Pemilu /Pemilihan Serentak 2024 sesuai bidang, tugas, atau kemampuannya masing-masing. Kesimpulan dari output konsolidasi demokrasi yaitu adanya legitimasi politik masyarakat terhadap pemerintahan hasil Pemilu/Pemilihan serentak 2024 yang semakin meningkat. Lalu, bagaimanakah masa depan konsolidasi demokrasi diIndonesia? Kita tunggu di hajatan nasional kita nanti di Pemilu Serentak 2024.   Daftar Pustaka Arrsa, R. C. (2014). Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidadi Demokrasi_. Malang : Peneliti Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA). Lestari Moerdijat (Wakil Ketua MPR RI/Anggota DPR RI Jawa Tengah II) Mustopa, H. S. (Anggota DPR RI/Wakil Ketua Komisi II DPR RI)  

DINAMIKA PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH BERKELANJUTAN #OPINI

Oleh: Edi Margono  Staf Bagian Program, Data & Informasi KPU Kota Tegal     Pemutahkiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) merupakan salah satu kegiatan rutin bagi penyelenggara pasca pelaksanaan pemilu. Kegiatan ini dilaksanakan melalui proses pengumpulan data, baik yang diperoleh pasca pemilu maupun melalui koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait maupun sumber langsung dari masyarakat di wilayahnya.   Pemutakhiran  dan penyusunan daftar pemilih memiliki nilai penting bagi penyelenggara. Sebab kegiatan ini menjadi ranah inti dari demokrasi. Maka wajar jika tahapan ini membutuhkan waktu, tenaga dan biaya  yang tidak sedikit. Kualitas daftar pemilih yang telah ditetapkan menjadi salah satu anasir/pemahaman apakah penyelenggaraan pemilu berintegritas, imparsial, dan akuntabel atau justru sebaliknya. Salah satu permasalahan utama yang seringkali muncul dalam penyelenggaraan pemilu adalah terkait dengan penyusunan daftar pemilih yang masih mengalami kendala dalam hal akurasi, komprehensifitas, dan kemutakhiran data.   Kegiatan pemutakhiran data merupakan langkah konkrit lembaga penyelenggara pemilu untuk menjaga kualitas data agar terjaga tingkat akurasinya. Selain itu, dengan adanya pemutakhiran data pemilih, pergerakan penduduk yang mempunyai hak pilih dapat terpantau dengan baik sehingga tidak terlewatkan dalam DPT Komisi Pemilihan Umum.   Berdasarkan hasil revisi ke-dua Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada Pasal 58 disebutkan: “Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum terakhir digunakan sebagai sumber Pemutakhiran Data Pemilihan dengan mempertimbangkan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4)”. Dokumen DP4 yang disampaikan oleh Pemerintah kepada KPU dan data Kependudukan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil kedunya hanya dijadikan sebagai data pendamping dalam melaksanakan Pemutakhiran Daftar Pemilih. Diperlukan langkah-langkah kreatif dan inovatif guna tercapainya validitas dan terpeliharanya daftar Pemilih.   Jaminan (guarantee) data pemilih yang akurat, terkini dan valid menjadi salah satu indikator yang sangat penting dalam pelaksanaan demokrasi yang berwujud pada sebuah pemilihan, baik pada Pemilihan Umum Legislatif, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur atau Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.   Kegiatan Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan yang dilakukan oleh KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota secara umum ada empat komponen data yang dijadikan dasar pelaksanaan, diantaranya: Pertama, Daftar pemilih tetap yaitu daftar pemilih pemilihan sebelumnya. Dalam hal ini Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019. Kedua, Daftar Pemilih Tambahan adalah pemilih yang pada saat pemungutan suara Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 yang menggunakan KTP sesuai dengan domisili karena tidak terdaftar di DPT dan Daftar Pemilih Pindahan. Ketiga, Data Mutasi Penduduk dari Disdukcapil Kabupaten/Kota yaitu data pergerakan penduduk yang memenuhi syarat sebagai pemilih baik yang datang ataupun keluar dari wilayah tersebut. Sementara data mutasi keluar digunakan untuk mencoret pemilih. Sedangkan data mutasi masuk digunakan untuk menambahkan daftar pemilih. Keempat, Laporan langsung dari masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut dapat melaporkan diri atau keluarganya ke KPU Kabupaten/Kota untuk memperbaiki data karena terjadi perubahan atau dikarenakan pindah keluar/masuk, perubahan status TNI/Polri yang dibuktikan dengan identitas kependudukan.   KPU Kabupaten/Kota yang Tahun 2020 tidak melaksanakan Pilkada khususnya di Wilayah Jawa Tengah sejauh ini telah melaksanakan pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan secara integral yaitu dengan melibatkan pihak-pihak terkait dalam upaya updating daftar pemilih secara optimal. Koordinasi dengan Disdukcapil Kabupaten/Kota terus dilakukan secara kontinyu untuk mendapatkan perkembangan dan perubahan data penduduk, sekaligus juga menerima masukan-masukan baik dari Bawaslu Kabupaten/Kota maupun dari elemen masyarakat secara umum dengan mengoptimalkan media sosial yang dimilikinya. Hal itu dimaksudkan agar data pemilih lebih akurat dan tingkat kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu semakin meningkat.   Dari pelaksanaan kegiatan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan selama Tahun 2020, ada berbagai kendala yang dialami di KPU Kabupaten/Kota, diantaranya belum terjalinnya koordinasi dan komunikasi yang maksimal antara KPU Kabupaten/Kota dengan Instansi/Lembaga lain di daerah terkait data kependudukan, kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut aktif memantau daftar pemilih, masih adanya anggapan bahwa Pemilu itu tidak penting, regulasi yang terlalu banyak sehingga seringkali membingungkan KPU Kabupaten/Kota, kurangnya SDM yang berkualitas dibidang IT.   Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, diperlukan langkah-langkah antisipatif secara tepat untuk meminimalisir berbagai permasalahan, diantaranya: Pertama, terkait permintaan data kependudukan yang akan digunakan sebagai sumber Pemutakhiran Data Pemilihan kalau dimungkinkan dibuatkan turunan regulasinya sampai ke tingkat Kabupaten/Kota. Kedua, perlu adanya penambahan anggaran bagi KPU Kabupaten/Kota yang tidak melaksanakan Pilkada untuk melaksanakan sosialisasi DPB kepada masyarakat secara langsung dalam bentuk interaksi aktif dilapangan sekaligus merubah pandangan publik bahwa Pemilu itu menjadi penting ( respon publik kurang terhadap media sosial KPU ). Ketiga, kurangnya SDM di KPU Kabupaten/Kota dan mengingat tantangan kedepan adalah teknologi seyogyanya KPU Kabupaten/Kota memperbanyak tenaga ahli IT. Keempat, membuat kegiatan yang kreatif dan inovatif untuk mendapatkan hasil yang maksimal, salah satunya dengan mencari data di tingkat kelurahan dengan berkoordinasi dengan Kasi Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (Permas) yang dibantu oleh Modin/Lebe untuk mendapatkan data kematian.    

PENERAPAN E-VOTING DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU DI INDONESIA: GAGASAN, PERMASALAHAN, DAN SOLUSINYA (PART 1) #OPINI

Oleh: Ruslianto, S.H Staff Subbag Teknis Pemilu dan Hukmas     Indonesia telah memiliki pengalaman panjang dalam penyelenggaraan pemilu, baik yang yang diselenggarakan dalam rezim pemerintahan yang otoritarian ataupun demokratis. Pemilu pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan Konstituante. Banyak pihak yang menilai bahwa Pemilu 1955 diselenggarakan secara demokratis (Baca: Faeith, 1999). Pemilu 1955 kemudian melahirkan tata politik yang kemudian dikenal secara populer dengan sebutan “periode demokrasi parlementer” atau “periode demokrasi liberal”. Indonesia selama 32 tahun (1966-1998) berada dalam periode pemerintahan “Orde Baru” dengan watak dan karakter rezim otoritarian yang mendominasi sistem politik dan pemerintahan. Pada masa ini, Indonesia menyelenggarakan 6 (enam) kali pemilu, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dari perjalanan pelaksanaan pemilu tersebut tercatat penyelenggaraan pemilu masih jauh dari nilai-nilai demokrasi. Sebab tindakan rekayasa, intimidasi, minimnya kontestasi, dan ketidaksetaraan di antara peserta pemilu menjadi sebagian dari karakter penyelenggaraan pemilu selama masa orde ini. (Baca: Haris, 1998). Pasca masa orde baru, Indonesia masuk ke dalam era reformasi, pada era ini Indonesia telah berhasil menyelenggarakan pemilu dengan mengedepankan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali secara berkala. Pemilu pertama di era reformasi ini diselenggarakan pada tahun 1999 dan disusul dengan secara rutin setiap lima tahun, yaitu tahun 2004, 2009, 2014, dan terakhir tahun 2019 kemarin. Sejak Pemilu 2004, Indonesia menyelenggarakan 2 (dua) jenis pemilu, yaitu Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif. Bahkan, sejak tahun 2005, Indonesia juga telah menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota). Selanjutnya, atas dasar pertimbangan efektifitas dan efisiensi pembiayaan, Indonesia melaksanakan penyelenggaraan Pilkada secara serentak pada tahun 2015, 2017, 2018, dan terakhir pada tahun 2020 ini. Penyelenggaraan Pilkada Tahun 2020 ini diselenggarakan dengan penuh perdebatan. Hal ini dikarenakan adanya Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak akhir tahun 2019. Awalnya pilkada akan diselenggarakan pada tanggal 23 September 2020, akan tetapi karena semakin meluasnya penyebaran Virus Corona, akhir diambil keputusan penyelenggaraan Pilkada diundur menjadi tanggal 9 Desember 2020. Karena kondisi tersebut sempat muncul wacana untuk penyelenggaraan pilkada dengan sistem e-voting. Sebetulnya wacana ini juga sangat gencar didengungkan pasca penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019 yang lalu, di mana penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 menimbulkan banyak korban jiwa dari pihak penyelenggara, terutama KPPS. Hal ini akibat padatnya tahapan penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 yang sangat menguras tenaga dan fikiran. Wacana Pemilu dan Pilkada diselenggarakan secara e-voting saat ini menjadi kajian yang banyak dilakukan oleh pegiat demokrasi. Akan tetapi, gagasan agar pemilu di Indonesia menggunakan sistem e-voting masih sulit dilakukan dalam skala nasional. Banyak hal yang perlu dipersiapkan dan direncanakan dengan baik. Sistem e-voting memerlukan infrastruktur yang baik termasuk permasalahan biaya juga menjadi persoalan yang terbesar. Biaya yang besar dibutuhkan guna memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana serta insfrastruktur yang memadai apabila akan menerapkan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada dengan sistem e-voting ini. Selain permasalahan biaya guna memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada dengan sistem e-voting ini, permasalahan lainnya adalah terkait sumber daya manusia (SDM), di mana kebutuhan SDM akan sangat besar guna menjalankan sistem e-voting ini. Akan tetapi, dari sekian banyak permasalahan yang ada, ada 1 (satu) permasalahan yang fundamental yaitu terkait regulasi. Sampai dengan saat ini belum ada regulasi yang mengatur penyelenggraan Pemilu dan Pilkada secara e-voting. Sehingga, seluruh wacana terkait teknis penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada dengan e-voting akan sangat sulit terealisasi karena faktor fundamental yang belum tersedia, yaitu regulasi. E-voting merupakan sebuah sistem yang memanfaatkan perangkat elektronik dan mengolah informasi digital untuk membuat surat suara, memberikan suara, menghitung perolehan suara, menayangkan perolehan suara dan memelihara serta menghasilkan jejak audit. Dibandingkan dengan pemungutan suara konvensional, e-voting menawarkan beberapa keuntung. (Baca: Hadar Gumay dalam Dialog Nasional Pemanfaatan E-voting untuk Pemilu di Indonesia Tahun 2014). (berlanjut ke part 2 di sini)

PENERAPAN E-VOTING DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU DI INDONESIA: GAGASAN, PERMASALAHAN, DAN SOLUSINYA (PART 2) #OPINI

Oleh: Ruslianto, S.H Staff Subbag Teknis Pemilu dan Hukmas (Lihat part 1 di sini ) Selama ini, metode e-voting telah di adopsi dan dipraktekkan dalam Pemilu di banyak negara di dunia. Menurut data dari AEC Project dalam (Lauer, 2004), sampai dengan bulan Januari 2010, total negara yang pernah bersentuhan dengan 8 (delapan) metode e-voting mencapai 43 negara. Dari jumlah tersebut, negara-negara itu dapat dibedakan menjadi 4 katagori, yakni: negara yang mempraktekkan e-voting dengan mesin pemilihan (12 negara), negara yang mempraktekkan internet voting (7 negara), negara yang baru sampai pada tahap perencanaan dan percobaan e-voting (24 negara), dan negara yang menghentikan pelaksanaan e-voting (4 negara). Australia, Kanada, Prancis, dan Jepang termasuk negara yang mempraktekkan baik e-voting dengan mesin pemilihan maupun internet voting. Untuk Negara Indonesia sendiri, apabila akan menerapakan e-voting, salah satu titik awal merealisasikan e-voting adalah dengan menyediakan landasan hukum yang jelas. Apabila landasan hukum atau regulasi ini sudah tersedia, maka perangkat-perangkat yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan e-voting juga akan mengikuti untuk dipersiapkan. Setelah regulasi atau landasan hukum tersedia, hal peratama yang perlu dipersiapkan adalah anggaran. Pemerintah dapat menyiapkan anggaran secara bertahap dalam kurun waktu beberapa tahun sampai dengan waktu diputuskannya pelaksanaan e-voting. Hal kedua yang perlu dipersiapkan adalah ketersediaan sarana dan prasarana, untuk ini dapat disesuaikan dengan ketersediaan anggaran. Pemerintah dapat mengadakan sarana dan prasarana secara bertahap sesuai dengan anggaran yang telah tersedia. Sedang hal ketiga yang harus sangat menjadi perhatian yaitu terkait sumber daya manusia (SDM), di mana SDM ini harus benar-benar dipersiapkan dengan matang agar dapat melaksanakan e-voting ini dengan baik. Karena penerpan e-voting akan sangat bergantung kepada kemampuan SDM dalam mengelola perangkat elektronik canggih yang digunakan dalam proses e-voting. Penerapan e-voting di Indonesia sangat perlu untuk menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan. Hal ini berkaca dari pengalaman penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 yang menimbulkan banyak korban jiwa, jika penyelenggaraan pemilu sudah menggunakan sistem e-voting dimungkinkan kejadian di tahun 2019 tersebut tidak akan terjadi. Selain itu, keuntungan dari e-voting daripada sistem konvensional/surat suara menurut Sanjay & Ekta, (2011) antara lain: Pertama, Menghilangkan kemungkinan suara yang tidak sah dan diragukan, yang dalam banyak kasus merupakan akar penyebab kontroversi dalam pemilihan umum; Kedua, Membuat proses penghitungan suara jauh lebih cepat daripada sistem konvensional; Ketiga, Mengurangi jumlah kertas yang digunakan sehingga menghemat banyak pohon yang membuat proses menjadi ramah lingkungan; Keempat, Mengurangi biaya pencetakan hampir nol karena hanya satu lembar kertas suara yang diperlukan untuk setiap Polling. Lebih jauh beberapa manfaat dalam penerapan e- voting dijabarkan oleh Riera & Brown, (2003) diataranya adalah: Pertama, Mempercepat perhitungan suara; Kedua, Lebih akurat hasil perhitungan suara; Ketiga, Menghemat biaya pengiriman surat suara; Keempat, Menghemat biaya pencetakan kertas suara; Kelima, Kertas suara dapat dibuat dalam beberapa versi bahasa; Keenam, Menyediakan akses informasi yang lebih banyak berkenaan dengan pilihan suara; Ketujuh, Menyediakan akses yang lebih baik bagi kaum yang mempunyai keterbatasan fisik (cacat); Kedelapan, Menyediakan akses bagi masyarakat yang mempunyai keterbatasan waktu untuk mendatangi tempat pemilihan suara (TPS); Kesembilan, Dapat mengendalikan pihak yang tidak berhak untuk memilih misalnya mereka yang di bawah umur. Implementasi penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada di Indonesia dengan menggunakan sistem e-voting apabila diterapkan dengan baik akan dapat memberikan banyak keuntungan. Kebijakan penerapan e-voting dalam penyelenggaraan Pemilu dan pilkada dapat membantu pemerintah dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah, karena e-voting akan mampu menghilangkan keraguan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Proses penyelenggaraan Pemilu dan pilkada dengan e-voting memberikan kemudahan dalam proses pelaksanaannya. Dengan menggunakan sistem e-voting, maka akan menciptakan keterbukaan informasi terhadap hasil Pemilu dan pilkada secara langsung. E-voting juga mampu menghemat biaya penyelenggaraan Pemilu dan pilkada, serta mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menentukan pilihan. Semoga dalam waktu dekat hal ini akan menjadi kenyataan, penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada menggunakan sistem e-voting, sehingga tidak ada lagi korban jiwa akibat kelelahan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, tidak ada lagi kendala dalam proses distribusi logistik, dan yang terpenting adalah hasil penghitungan dan rekapitulasi akan dengan cepat disampaikan. (selesai)

Populer

Belum ada data.